Setiap pagi setelah selesai menyiapkan keperluan anak-anak untuk berangkat sekolah juga suami yang berangkat ke kantor, aku menyempatkan sebentar untuk membaca koran pagi. Disini aku ingin berbagi kepada sahabat-sahabatku karena kutemukan artikel yang menurutku perlu untuk menjadi bahan perenungan. Yang pasti kita sebagai Makhluk Allah SWT nantinya akan kembali kepadaNya yang merupakan akhir dari sebuah perjalanan hidup manusia di dunia.Dan kita semua pasti ingin kembali dalam keadaan Khusnul Khotimah, amiin ya robbal alamiin.
Dari judulnya : Kematian Yang Indah (oleh : Siwi Tri Budiwiyati, wartawan Republika, Kabar dari Tanah Suci. Koran Republika)
Saya sempat tak habis pikir dengan pesan singkat seorang sahabat yang menyarankan untuk belajar sholat jenazah sebelum berangkat ke Tanah Suci. Bahkan, saya membalas SMS itu dengan setengah bercanda."Tenang room mate-ku usianya belum genap 30".
Rupanya, sahabat saya tidak main-main. Di hari pertama tiba di pelatara Ka'bah, saya menemukan saran dia benar adanya. Untunglah satu, dua do'a shalat tanpa sujud dan rukuk itu masih saya hafal, meski sangat jarang dipraktekkan di Jakarta.
Tiap habis shalat lima waktu di Masjidil Haram, imam selalu mengajak jama'ahuntuk shalat jenazah. Selama 10 hari saya disini, tiap hari selalu ada jama'ah yang dishalatkan.
Taruhlah rata-rata per hari jenazah yang dishalatkan sebanyak dua orang, maka dalam sehari ada 10 jama'ah meninggal. Namun, menurut Abdul Hamid, pria asal Jogjakarta yang bekerja sebagai petugas Cleaning Service di Masjidil Haram angka itu bisa berlipat saat jama'ah sudah berkumpul di Makkah dan menanti wukuf di Arafah. Bisa sampai 10 jenazah per waktu shalat, katanya.
Seperti di Tanah Air, jenazah itu diangkut dengan keranda, tanpa peti.Jenazah itu dibawa ke dalam masjid menjelang waktu sholat.
Usai shalat, kembali dimasukkan kedalam ambulans untuk dimakamkan. Ada dua pemakaman umum yang bisa digunakan, yaitu pemakanan Maala dan Syaraya.
Saya mengamati tak ada raut kesedihan dalam iring-iringan pengantarjenazah itu. Bahkan beberapa jama'ah yang bergabung belakangan dalam iring-iringan itu saya menduga salah satu dari mereka adalah keluarganya hanya melambai dan mengecup tangannya kemudian kembali ke dalam Masjid. tetes air mata diusapnya buru-buru, sebelum sempat mengalir ke pipi.
benar kata banyak ulama, haji pada dasarnya perjalanan kematian. Adalah sikap-sikap tak terpuji, maksiat, syirik dan cinta dunia yang akan kita "matikan" sepulang dari Tanah Suci. Kadang, nyawapun pergi saat perjuangan"menemukan diri-demikian saya mendifinisikan haji-belum berakhir.
Itu swebabnya , sebelum berangkat ke Tanah Suci, kita dianjurkan menyiapkan bekal laksana orang yang akan mati.
Misalnya melunasiutang-utang, membuat surat wasiat, serta membebaskan diri dari segala rasa marah, iri, dengki, dan benci. Apalagi artinya perjalanan suci itu, jika diri dan hati masih menyimpan sikap-sikap tak terpuji?
Ali Syariati menyebut ibadah haji mencerminkan kepulangan kepada Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan, dan yang tak diserupai oleh sesuatupun juga. Pulang kepada Allah adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, dan pengetahuan, demikian katanya.
Tujuan ini bukan "untuk Allah", tapi untuk mendekatkan diri kita kepadaNya. "Allah tidak jauh dari kita, oleh karena itu marilah kita berusaha menghampiriNya.
Sesungguhnya Allah lebih dekat daripada kita dengan diri kita sendiri." Bukankan Allah memang menjadi tujuan dari perjalanan kita (QS 24:42)?
pertunjukan haji, kata Syariati, bermula dari miqat (tempat tertentu di Tanah Suci untuk mengambil niat berhaji). Disini sang aktor(manusia) berganti pakaian lahir dan batin. Segala keakuan dan kecenderungan mementingkan diri terkubur di miqat. Dia menyaksikan tubuhnya sendiri yang mati dan menziarai kekuburannya sendiri. "Jasad" mereka yang lama, telah ditinggalkan di miqat.
Saya sungguh iri dengan merekayang berpulang dari Tanah Suci. Mereka dipanggilNya di halaman Rumah Agung itu dalam kondisi bersih jiwa dan raga. Mereka menghadap tengah menggenapkan segala wujud kecintaan kepadaNya.
Tak ada ratap tangis, tak ada prosesi pemakaman yang mengharu biru.
Di antara duka, terselip rasa bahagia, siapa tak bahagia melihat orang yang dikenalnya dipanggil "kekasih" yang selalu dirindukanNya? Hanya setetes air mata yang segera menguap ketika Allah serasa hadir dalam pusaran ribuan orang yang khusyuk melakukan shalat jenazah mengantar kepergiannya. Dan juga, alunan do'a yang takzim itu.
Sungguh sebuah kematian yang indah.
Demikian artikel tersebut, sangat menyentuh dan insyaallah akan berguna bagi sahabat-sahabatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar